Dulu, waktu kecil di rumah nenek, pagi-pagi selalu ada teko warna-warni yang mengepul. Bukan kopi — teh. Gue sempet mikir, kenapa minuman sederhana ini bisa jadi bagian dari momen paling biasa sekaligus sakral di keluarga. Jujur aja, sejak kecil sampai sekarang secangkir teh selalu punya cara untuk menenangkan hari yang berantakan.
Sejarah singkat: Dari China sampai warung pinggir jalan
Teh berasal dari tanaman Camellia sinensis yang pertama kali dibudidayakan di China ribuan tahun lalu. Dari situ teh menyebar ke Jepang lewat biksu-biksu Buddha, lalu ke Eropa melalui jalur perdagangan. Di Nusantara, sejarah teh modern lebih banyak ditandai masa kolonial ketika Belanda membuka perkebunan di dataran tinggi Jawa, seperti di Puncak, Malabar, dan daerah pegunungan lainnya.
Yang menarik, budaya minum teh berkembang berbeda-beda: ada yang ritualnya formal seperti upacara minum teh Jepang, ada juga yang santai seperti ngeteh bareng di warung kopi pinggir jalan. Di Indonesia sendiri, teh menjadi bagian dari ritual sosialisasi — dari hajatan sampai ngobrol sore sambil melihat matahari turun. Itu salah satu alasan kenapa teh terasa akrab, bukan sekadar minuman.
Manfaat yang bikin gue rajin nyeduh (opini pribadi)
Apa sih yang bikin teh begitu digemari? Selain rasa, manfaatnya nyata: banyak jenis teh mengandung antioksidan seperti katekin (paling terkenal di green tea), yang membantu melawan radikal bebas. Kandungan L-theanine pada teh juga dipercaya membantu menenangkan pikiran tanpa bikin ngantuk berlebihan — kombinasi yang pas buat produktivitas santai.
Jujur aja, gue merasa lebih fokus setelah secangkir teh hijau di sore hari ketimbang setelah minum kopi yang bikin deg-degan. Selain itu, konsumsi teh juga dikaitkan dengan potensi manfaat jantung, pencernaan yang lebih baik, dan hidrasi. Tapi tentu, segala klaim kesehatan harus dilihat proporsional; kalau punya masalah kesehatan tertentu, mending konsultasi ke dokter dulu.
Oh iya, gue pernah iseng bereksperimen dengan waktu seduh dan suhu. Hasilnya: teh hijau enak kalau airnya nggak sampai mendidih, teh hitam malah mau air panas supaya rasanya keluar. Simple science, big happiness.
Brand lokal yang bikin penasaran (dan dompet sedikit kepo)
Di pasar Indonesia, pilihan teh itu luas: dari merek besar yang udah akrab seperti Sariwangi atau Teh Botol Sosro sampai Pucuk Harum, sampai brand-brand kecil yang muncul di pasar kreatif dan Instagram. Yang asyik belakangan ini adalah munculnya microbrand dan produsen lokal yang fokus kualitas dan cerita di balik tiap daun teh.
Salah satu yang gue temui waktu iseng scroll marketplace adalah estehthejava, yang menawarkan koleksi teh dari dataran tinggi di Jawa dengan pendekatan kecil dan artisan. Selain itu, beberapa produsen lokal di daerah Malabar, Puncak, Aceh (Gayo), dan Kerinci juga mulai memasarkan teh single-origin yang menarik untuk dicoba kalau kamu suka eksplor rasa.
Buat gue, pesona brand lokal bukan cuma soal rasa, tapi soal cerita: siapa petaninya, bagaimana cara panennya, apakah diproses tradisional atau modern. Kadang harga memang lebih mahal, tapi itu terasa wajar kalau kita pikir ada nilai lebih di setiap cangkirnya.
Cara sederhana menikmati teh (tips ala gue)
Kalau mau mulai eksplor, begini tips santai dari gue: untuk teh hijau, pakai air sekitar 70–80°C dan seduh 1–3 menit; untuk teh hitam, air mendidih dan seduh 3–5 menit; oolong di antara keduanya. Kalau suka manis, tambahkan sedikit gula atau madu. Kalau pengin sensasi creamy, sedikit susu sachet atau susu full-fat bisa bikin teh terasa lebih “hangat”.
Nah, jangan takut bereksperimen. Beli sample dari beberapa brand lokal, bandingkan rasa, dan catat preferensi kamu. Gue sendiri suka menulis sedikit catatan rasa tiap kali coba teh baru — kadang itu jadi alasan buat kembali membeli.
Di akhir cerita, secangkir teh bagi gue lebih dari minuman: ia adalah momen berhenti sejenak, ngobrol, dan kadang refleksi kecil sebelum berlanjut ke hari. Jadi, kalau lagi butuh tenang atau pengin coba hal baru, cobain deh eksplorasi teh lokal — siapa tahu kamu juga ketagihan seperti gue.